“Bersyukurlah karena kalian telah menjadi mahasiswa ,karena tidak semua anak muda yang seangkatan dengan kalian, bisa melanjutkan kuliah ke Perguruan Tinggi”Demikian, salah satu ungkapan salah seorang nara sumber saat penulis mengikuti Orientasi Pendidikan Kampus (ORDIK) beberapa tahun silam, yang setiap menjelang penerimaan mahasiswa baru selalu terbayang dalam memori penulis. Ungkapan yang mungkin saja sangat sederhana dan (seakan) tidak terlalu bermakna untuk dihafal, tetapi apapun alasannya ungkapan kalimat itu, menurut hemat penulis merupakan kenyataan yang benar adanya. Menjadi mahasiswa merupakan idaman dan impian setiap generasi muda, tetapi yang juga penting untuk disadari bahwa tidak semua generasi muda memiliki kesempatan untuk belajar di kampus atau minimal bisa terdaftar sebagai mahasiswa.Terlepas apakah hambatan masuk PT karena faktor ekonomi, umur, dan karena faktor terburu-buru ke meja pelaminan, penulis dalam hal ini hanya mau melihat pada persoalan kesempatan dan tidak punya kesempatan dalam menyandang predikat sebagai MAHASISWA. Predikat luar biasa bagi elit muda yang tidak mudah untuk diraih dan didapatkan. Istilah MAHA yang melekat merupakan simbol suprematif bagi calon intelektual yang akan selalu mengabdikan dirinya pada ilmu pengetahuan, seperti yang dikatakan Imam al-Ghazali “Tiada yang lebih baik dari pada ilmu dan ibadah. Jangan kita mempergunakan otak kita melainkan untuk ilmu dan ibadah. Pusatkanlah sekarang ini perhatian kita kepada ilmu dan ibadah. Bila sudah terpusat, maka kita akan jadi kuat, dan bila sudah kuat, berhasillah kita” .Ini berarti, bahwa predikat sebagai mahasiswa pada hakikatnya bukan simbol basi dan kerontang yang hanya sebatas simbol. Tetapi merupakan perwujudan hakiki tentang kualitas dan kapabilitas seorang agen intelektual yang kiprah dan perjuangannya tengah ditunggu-tunggu oleh masyarakat, bangsa dan negara. Karena menjadi mahasiswa berarti menjadi pelopor dan inspirator bagi bangsa dan negara.Sebagai kaum intelektual, mahasiswa harus mampu membenahi diri dan pada gilirannya wajib mentransformasikan apa yang diperolehnya untuk kemaslahatan masyarakat, bangsa dan negara. Karena mahasiswa, menurut Akhmad Gojali Harahap memiliki tanggung jawab untuk terus berjuang memperbaiki nasib bangsanya. Sebagian besar rakyat kita adalah masyarakat yang belum bebas dari kebodohan dan kemiskman, dipundak mahasiswa-lah mereka menaruh harapan akan masa depan anak-anaknya agar hidup lebih baik di masa yang akan datang. Dengan kemampuan intelek tualitas, mahasiswa harus mampu menangkap perasaan rakyat akan pentingnya kesejahteraan dan demokrasi, yang adil dan merata (Gojali, PMII : Pe lopor & Penggerak Perubahan, 2003 : 3).Nah, menjadi mahasiswa berarti kita telah siap menjadi agen intelektual sekaligus agen perubahan bagi bangsa dan negara kita. Itulah terget ideal dari pilihan kita masuk di perguruan tinggi (PT) ; menjadi generasi dambaan umat yang dengan tekad dan semangat siap membuktikan untuk menjadi khorunnasi anfa ‘uhum linnasi.Kampus : Tempat MemprosesIstilah kampus sebenarnya hampir sama dengan penggunaan sekolah dan tempat-tempat pendidikan yang lain. Secara sederhana, istilah kampus merefleksikan tentang bagaimana proses belajar mengajar berjalan dan dijalankan. Akan tetapi, pada wilayah yang lebih teknis, belajar di kampus memiliki titik perbedaan yang sangat diametral dengan proses pembelajaran di lembaga-lembaga satu dan beberapa tingkat di bawah kampus. Mengikuti kuliah sangat berbeda dengan mengikuti proses belajar mengajar di sekolah yang notebene lebih mengutamakan dominasi guru daripada murid. Murid hanya dijadikan sebagai pendengar dan sesekali mencatat apa-apa yang disampaikan oleh seorang guru. Guru menjadi lambang sentral dari ilmu pengetahuan, sehingga mengecilkan peran murid sebagai generasi yang harus didik.Sedangkan proses pembelajaran yang dilakukan di kampus lebih mengutamakan mahasiswa untuk mencari. Sehingga tidak heran kalau kemu dian muncul batasan-batasan akademis bahwa mahasiswa hanya akan mendapatkan 25% pengetahuan “baru” dari dosen, sedangkan yang 75% harus dicari sendiri oleh mahasiswa”. Artinya, dosen hanya menjadi pelengkap dari sekian informasi yang didapatkan oleh mahasiswa untuk lebih di matangkan. Dan mahasiswa yang baik adalah mahasiswa yang memiliki kemampuan mempermasalahkan (mengkritisi) setiap informasi yang disampaikan oleh dosen. Hal ini mengidealkan bahwa cara belajar mahasiswa adalah cara belajar yang tidak terjebak dengan paradigma ketergantungan terhadap orang lain seperti guru-guru di lembaga-lembaga pendidikan di bawah PT, tetapi menjadi - dalam istilah Andreas Harefa - pembelajar sejati yang dengan tekun, penuh kesadaran dan kepercayaan diri mencari informasi sendiri.Kampus dengan demikian, akan lebih menjadi sarana bagaimana menjadi orang cerdas, kritis dengan bobot pembacaan yang maksimal. Maka yang harus dilakukan oleh mahasiswa adalah bagaimana dengan tekun dapat mengisi diri agar mandiri dan berfikiran mandiri, sehingga predikat sebagai agen intelektual akan betul-betul didapat. Usaha-usaha untuk mencapai kemandirian tersebut bisa dilakukan dengan beberapa cara membaca, menulis sebagai bagian dari ekspresi gagasan dan pemikiran serta mengistiqomahkan diskusi sebagai wahana untuk memantapkan apa yang telah diperoleh dan dibaca.Pertama, rajin membaca buku dan media-media yang lain dimanapun dan kapanpun, karena informasi tidak akan didapatkan tanpa melalui proses pembacaan yang serius dan istiqomah. Mahasiswa harus gemar membaca buku dan mengolah informasi, sebab tanpa membaca buku, harapan untuk menjadi intelektual tidak akan pernah tercapai. Karena pembelajaran yang dilaksanakan di kampus merupakan pembelajaran yang mengutamakan kemandirian seorang mahasiswa, sehingga tidak salah kalau ada asumsi “lebih baik ti dak kuliah, kalau tidak suka membaca buku dan hanya menunggu dari dosen”. Pernyataan itu sangat berasalan, karena dalam prakteknya dosen hanya me nyampaikan informasi tentang garis besar dari materi yang ada dengan literatur yang juga sangat terbatas. (Nanti setelah Anda masuk kuliah akan merasakan hal ini).Kedua, Menuangkan gagasan (baca : menulis). Tulis menulis di kalangan mahasiswa harus menjadi target pencapaian selama berproses di bangku kuliah. Kuliah memang bukan untuk hanya menulis, tetapi bahwa menulis menjadi alat vital dalam proses kuliah itu sangat mungkin. Bahkan menurut penulis, mahasiswa dan menulis bagaikan dua sisi mata uang yang tidak boleh berpisah. Mahasiswa adalah generasi penulis yang siap menuliskan ide dan gagasannya untuk dipersembahkan pada peradaban dimana ia akan menjalani kehidupannya.Keberhasilan kuliah, saya kira bukan terletak pada sejumlah nilai setiap semesteran, tetapi pada kreatifitas yang dihasilkan oleh seorang mahasiswa, itulah keberhasilan. Nilai hanyalah angka-angka, tetapi kreatifitas adalah bukti bahwa kita mampu. Dan, target luhur dari rangkaian proses pendidikan di kampus pada hakikatnya adalah bagaimana mampu menghasilkan jiwa-jiwa kreatif dan produktif. Itulah mahasiswa sejati yang ditunggu-tunggu oleh peradaban. Mahasiswa yang memiliki bobot kreatifitas sebagai bentuk pertanggungjawaban intelektual atas posisi strategisnya sebagai agen perubahan untuk melakukan yang terbaik bagi proses-proses kehidupan.Ketiga, Mengintensifkan Diskusi. Secara bahasa diskusi mempunyai arti merembuk, merunding, dan bertukar pikiran. Dalam diskusi juga terkandung pemahaman kejeniusan dalam bertukar pikiran yang dilakukan secara dialektif, argumentatif dan ditopang oleh referensi yang jelas merupakan kegiatan bersama yang dimaksudkan untuk mencari kebenaran terhadap satu masalah, Dengan demikian, diskusi berarti mencari kebenaran tentang suatu masalah, bukan mencari kemenangan. Seorang mahasiswa, harus mampu membangun kesadaran berdiskusi secara aktif sebagai proses untuk mencari tambahan informasi sekaligus sebagai media untuk menata cara berfikir dan membiasakan diri menganalisa satu persoalan.Dengan kegiatan-kegiatan tersebut, dapat disederhanakan bahwa kampus tidak sepenuhnya menjadi media pencerdasan mahasiswa, tetapi masih dibutuhkan cara-cara lain di luar kampus untuk menopang proses pembelajaran yang terjadi di dalam kampus. Oleh karena itu, mahasiswa jangan menutup mata untuk tekun mengikuti kegiatan-kegiatan di luar kampus, seperti dialog-dialog, seminar-seminar dan lebih-lebih kegitan yang diadakan oleh organisasi-organisasi lain di luar kampus, sebagai tambahan pemahaman wawasan dan pengetahuan Akhirnya, tiada harapan yang ingin kita capai sebagai mahasiswa, selain bagaimana kita dapat dibaca dan dapat memberikan yang terbaik bagi perubahan. Ingat, proses adalah hukum wajib untuk dilakukan. Dalam proses terdapat ketekunan, kesa baran dan semangat yang harus menggebu. Karena tidak ada keberhasilan yang hampa proses apa lagi yang gratis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar